Beberapa waktu yang lalu saya membaca beberapa tulisan tentang menjadi ibu, betapa lelahnya, betapa tidak punya waktu untuk diri sendiri karena jadi ibu memang pekerjaan 24/7 alias dua puluh empat jam dalam seminggu alias setiap hari. Belum lagi jika ibu memilih metoda ASI eksklusif yang mengharuskan ibu menghentikan segala pekerjaan di luar rumah atau tetap bekerja dengan konsekuensi memompa payudara untuk stok ASI kapanpun ketika sempat. Lalu jika bayi atau anak sakit atau tidak mau makan atau harus begadang karena tidak mau tidur. Ibu tidak bisa ke salon, tidak bisa ngopi-ngopi cantik apalagi ke klab buat dugem karena jadi ibu membutuhkan pengorbanan dan itu adalah pekerjaan yang mulia dan menyita waktu dan sebagainya.
Di sisi lain, saya juga mengamati kalau keberhasilan jadi ibu juga harus diabadikan. Mulai dari saat hamil sampai si bayi lahir juga cara mengurus bayi. Seluruh dunia harus melihat keberhasilan dalam mengurus si jabang bayi sampai dia bisa berlari. Bayi sedang tersenyum, buru-buru ambil henpon dan foto senyumnya yang membanggakan. Makan hari ini berhasil, ambil foto juga. Berhasil bikin makanan buat si bayi yang baru boleh makan segala yang dihaluskan, seluruh dunia harus tahu. Jalan dan liburan? Penting sekali untuk dibagi. Karena anakmu spesial dan cara membesarkan anakmu juga spesial. Jadi itu penting. Bagimu. Tapi belum tentu penting buat dunia.
Jangan marah dulu. Jadi ibu memang spesial. Punya anak itu pengalaman yang sangat luar biasa dan saya juga tahu hal itu. Saya bukan terganggu soal berbagi dan pamer bagaimana keseharian menjadi ibu. Saya juga punya dua anak. Yang sulung 9 tahun dan yang bungsu belum genap 2 bulan ketika saya menulis ini. Saya juga suka pamer. Suka selfie meski gak terlalu pede buat ngeshare banyak-banyak.
Yang saya heran dengan fenomena sosial media adalah setelah ibu-ibu berbagi kesulitan soal membesarkan anak, berbagi kebahagiaan soal punya anak, kok masih punya energi untuk nyinyir dan menghakimi ibu lain yang punya anak juga.
Bukankah ibu harus mengajarkan anak untuk bisa suportif, punya empati dan rasa simpati pada orang lain? Apa kabarnya kalo anak diajarkan begitu tapi ibunya malah sibuk dengan "cara gue paling bener"nya sendiri? Tiap ibu punya cara masing-masing untuk bisa tetap waras dan berdamai dengan situasi rumah masing-masing. Punya cara sendiri untuk tetap survive. Mau pake ASI, formula, air tajin. Mau imunisasi atau tidak. Mau memakai gendongan atau stroller. Pakai babysitter atau tidak. dibantu suami atau sendirian.
Mengingatkan dan berbagi, hayuk. Nyinyir soal cara? Simpan dalam hati atau diomongin sambil bisik-bisik sama teman atau partner yang sepaham.
Jadi ibu itu bukan kompetisi. Bukan jadi yang paling sempurna untuk dunia luar tapi bagaimana bisa berfungsi untuk keluarga inti terlebih dahulu baru kemudian membagi tips dan trik yang digunakan. Bayi itu "live in the moment" dia belum punya sejarah, tidak peduli siapa yang memberi makan, tidak perduli ibunya sempurna atau tidak tapi ada atau tidak orang yang mengurus dia. Bersyukurlah ibu-ibu yang bisa berfungsi dengan baik, apalagi yang punya support system yang baik yang mendukung anak untuk tumbuh kembang dengan sehat dan bahagia.
Begitulah.
Sekian tulisan pertama seri #ibuduatitiknol saya untuk kali ini. Semoga setelah ini akan ada tulisan lain karena saya sedang punya waktu luang. Untuk kritik dan lainnya, mangga silakan komen, dipersilakan juga untuk berbagi. Mohon maaf untuk bapak-bapak, bukan mengecilkan peran bapak tapi karena saya ibu-ibu ya jadinya sudut pandangnya ibu-ibu.
O ya, dibawah ini ada iklan susu formula yang justru dengan cerdas menunjukan kalau "No matter what our beliefs, we are parents first."
No comments:
Post a Comment