Everytime I see you falling I get down on my knees and pray. I’m waiting for the final moment you say the words that I can’t say.
Frente --Bizarre Love Triangle --
Ketika kutemukan kau tengah menatap ruang sepi dalam hatimu. Ketika kutemukan kau tengah menatap kematian yang ada dalam genggaman tanganmu. Aku tahu tak ada seorangpun dapat menyembuhkanmu sama dengan aku tahu tak ada seorangpun tahu apa penyakitmu.
“Mengapa manusia selalu menyia-nyiakan hidupnya, sayang ?”
“Entahlah.”
“Mengapa mereka mencintai sesuatu yang tidak mencintai mereka ?”
“Entahlah.”
“Masihkah kau kenakan topeng itu, sayang ?”
“Tidak.”
“Aku masih.”
“Mengapa ?”
“Karena aku tak dapat menemukan kebenaran saat menatap cermin.”
Ingin kuhapus air mata yang membasahi pipimu. Tapi aku tak sanggup menggerakkan tanganku.
“Aku lelah berbohong. Tapi aku selalu berbohong. Kenapa ya ?”
“Mungkin karena kau manusia ?”
“Klise.”
“Kau mengharapkan aku menjawab apa ?”
“Entahlah. Satu pertanyaan lagi, apa yang kau lakukan saat kau merasa marah pada dirimu sendiri ? Merasa benci pada dirimu sendiri ? Merasa jijik pada dirimu sendiri ?”
“Mabuk ?”
“Hmmm...”
Tapi air matamu tak berhenti menetes. Aku ingin berteriak di telingamu agar kau tak lagi menangis. Tapi mulutku membisu. Apa yang harus kulakukan ?
“Sayang. . .”
“ya ?”
“Pernahkah kau berpikir untuk mengakhiri hidupmu ?”
“Aku rasa tiap orang pernah berpikir tentang kematian.”
“Bukan tentang kematian, tentang membunuh dirimu sendiri.”
“Entahlah, aku lupa.”
“Mengapa orang yang mengakhiri hidupnya selalu dituduh pengecut ?”
“Karena dia tak berani menanggung resiko hidup barangkali, karena dia merasa menjadi orang yang paling malang di dunia, padahal banyak orang lain yang lebih malang dari dirinya.”
“Apakah kau percaya Tuhan ?”
“Iya, jelas aku percaya bahwa ada kekuatan yang melebihi kekuatan manusia.”
“Apakah rasa percayamu pada Tuhan sama dengan rasa percayamu padaku ?”
“Aku tidak tahu, maksudku, aku ingin bilang bahwa kepercayaanku padamu mungkin ada kalanya sama dengan kepercayaanku pada-Nya, dengan cara yang berbeda tentunya. Tapi kepercayaan bukanlah sesuatu yang mutlak. Ia bisa naik bisa turun. Bagitu juga dengan rasa percayaku padamu. Lagipula kita manusia. Mana ada manusia yang kata-katanya adalah mutlak suatu kebenaran ?”
Kulihat tak satupun kata-kataku yang bisa menghentikan tangismu. Isak tangismu makin keras. Bahumu berguncang setiap kali kau mengisak.
“Tinggalkan aku.”
“Aku tidak mau, kau masih menangis. Aku tidak mau meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini.”
“Just leave me alone.”
“Tapi...”
“Pergilah . . .”
“Aku tidak mau.”
“Terserahlah. Tapi aku tak akan mengajakmu berbicara lagi.”
Kami tenggelam dalam kesunyian. Akhirnya, isak tangismu memelan dan kau memejamkan mata. Lelahkah ? Mungkin ya. Perlahan kugenggam tanganmu. Kau tak menolak.
“Begitu sulitkah menemukan diriku ?”
“Apa ?”
“Begitu sulitkah menemukan diriku ?”
“Tidak, kau ada disini, dihadapanku.”
“Lalu mengapa aku tidak bisa melihat diriku sendiri ? Rasanya seperti aku hanyalah kabut yang hilang ditelan cahaya matahari. Seperti bintang yang diusir langit terang.”
“Kau lelah sayang.”
“Ya, aku lelah, sangat. Aku ingin pergi jauh. Sangat jauh.”
Bandung @ April 8, 2001.
No comments:
Post a Comment